2.1.1 Konsep Dasar Liberalisme
Pemikiran liberal (liberalisme)
adalah satu nama diantara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang
berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya
Abad Pertengahan. Liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas daru
pengawasan gereja dan raja. Berkembang di negara-negara Eropa dan Amerika
dengan paham yang sama. Perkembangan liberalisme masuk yang mampu mempengaruhi
sektor-sektor berkaitan dengan kolonialisme, yakni daam bidang ekonomi dna
politik di Indonesia.
Liberalisme
berasal dari kata bahasa Spanyol liberales, yang artinya nama partai politik.
Liberales sebagai partai politik mulai berkembang di Spayol pada awal abad
ke-20 dalam rangka memperjuangkan pemerintah yang berdasarkan konstitusi.
Pengertian liberalisme adalah suatu paham yang mengutamakan kemerdekaan
individu yang merupakan pokok utama paham ini. Liberalisme melahirkan konsep
pentingnya kebebasan hidup dalam berpikir, bertindak, dan berkarya. Dalam paham
liberalisme, Negara harus tetap menjamin kebebasan individu, dan untuk itu
manusia secara bersama-sama mengatur negara. Dalam paham ini, kebebasan
individu merupakan dasar dari demokrasi.
Liberalisme
adalah suatu paham yang menghendaki adanya kebebasan individu dalam segala
bidang.Menurut paham ini titik pusat dalam hidup ini adalah individu.Karena ada
individu maka masyarakat dapat tersusun dan karena individu pula negara dapat
terbentuk. Oleh karena itu, masyarakat atau negara harus selalu menghormati dan
melindungi kebebasan kemerdekaan individu.Setiap individu harus memiliki
kebebasankemerdekaan, seperti dalam bidang politik, ekonomi, dan agama.
Terbentuknya
suatu negara merupakan kehendak dari individu- individu. Oleh karena itu, yang
berhak mengatur dan menentukan segala-galanya adalah individu-individu
tersebut. Dengan kata lain, kekuasaan tertinggi (kedaulatan) dalam suatu negara
berada di tangan rakyat (demokrasi). Agar supaya kebebasan, kemerdekaan
individu tetap dijamin dan dihormati sehingga harus dibentuk undang-undang,
hukum, parlemen, dan sebagainya. Dengan demikian, yang dikehendaki oleh
golongan liberal adalah demokrasi liberal. Hal ini seperti yang berlaku di
negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
2.1.2 Awal Perkembangan Liberalisme
Liberalisme
atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang
didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan dan persamaan hak adalah nilai
politik yang utama. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat
yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham
liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama
(Sukarna, 1981). Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam
sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama didasarkan pada
kebebasan mayoritas.
Pemikiran
liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut
ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans
yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang
secara harfiah berarti “bebas dari batasan” (free from restraint), karena
liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan
raja. (Adams, 2004:20). Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad
Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Menurut
Sukarna (1981) ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni
Kehidupan, Kebebasan, dan Hak Milik. Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang
bersumber dari tiga nilai dasar liberalisme diantaranya adalah sebagai berikut
:
1. Kesempatan
yang sama
Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang
sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi, dan
kebudayaan. Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam
menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada
kemampuannya masing-masing. Terlepas dari semua, hal ini (persamaan kesempatan)
adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.
2. Perlakuan
yang sama
Dengan adanya pengakuan terhadap
persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk
mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang
dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan
dilakukan secara diskusi atau dilaksanakan dengan persetujuan dimana hal ini
sangat penting untuk menghilangkan egoism individu.
3. Berjalannya
hukum
Fungsi Negara adalah untuk membela dan
mengabdi pada rakyat. Terhadap hak asasi manusia yang merupakan hukum abadi,
dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk
melindungi dan mempertahankannya, Maka untuk menciptakan berjalannya hukum,
harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka
umum, dan persamaan sosial.
4. Pemerintah
persetujuan dari yang diperintah
Pemerintah harus mendapat persetujuan
dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya
sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.
5. Negara
hanyalah alat.
Negara
itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar
dibandingkan negar itu sendiri. Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan
bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap dapat memnuhi dirinya sendiri dan
negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara suakrela
masyarakat telah mengalami kegagalan.
6.
Dalam liberalisme tidak dapat menerima
ajaran dogmatism
Hal
ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632-1704) yang
menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam
pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.
Sedangkan
menurut Ramlan Subakti (2010: 45) ciri-ciri ideologi liberal sebagai berikut. Pertama, demokrasi merupakan bentuk
pemerintahan yang lebih baik. Kedua,
anggota masyarakat memiliki kebebasan intelektual penuh, termasuk kebebasan
berbicara, kebebasan beragamadan kebebasan pers. Ketiga, pemerintah hanya mengatur kehidupan masyarakat secara
terbatas. Keputusan yang dibuat hanya sedikit untuk rakyat, sehingga rakyat dapat
belajar membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Keempat, kekuasaan dari seseorang terhadap orang lain merupakan
hal yang buruk. Oleh karena itu pemerintah dijalankan sedemikian rupa sehingga
penyalahgunaan kekuasaan dapat dicegah. Pendek kata, kekuasaan dicurigai
sebagai cendarung disalahgunakan, dan karena itu sejauh mungkin dibatasi.
Kelima, suatu masyarakat dikatakan berbahagia kalau masyarakat secara
keseluruhan berbahagia, kebahagiaan sebagian besar individu belum tentu
maksimal.
Ada
dua macam Liberalisme, yakni :
1. Liberalisme
Klasik dan Liberallisme Modern.
Liberalisme
Klasik timbul pada awal abad ke 16. Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan
individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. Setiap individu memiliki
kebebasan berpikir masing-masing yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua
paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). Meskipun begitu,
bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang
mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan
(Sukarna, 1981). Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan
kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.
2. Liberalisme
Modern
Liberalisme
Modern mulai muncul sejak abad ke-20. Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal
yang mendasar, hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai
intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam
versi yang baru. Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah
berakhir (Sukarna, 1981).
Pemikiran
liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat
yang Kristen. Munculnya ideologi ini disebabkan karena ketatnya peraturan
sehingga membuat kekuasaan bersifat otoriter, tanpa memberikan kebebasan
berpikir kepada rakyatnya. Salah satu yang menganut ideologi liberalisme adalah
Amerika. Kebebasan telah muncul sejak adanya manusia di dunia, karena pada
hakikatnya manusia selalu mencari kebebasan bagi dirinya sendiri. Bentuk
kebebasan dalam politik pada zaman dahulu adalah penerapan demokrasi di Athena
dan Roma. Tetapi, kemunculan liberalisme sebagai sebuah paham pada abad akhir abad 17, berhubungan dengan
runtuhnya feodalisme di Eropa dan dimulainya zaman Renaissance, lalu diikuti
dengan gerakan politik masa Revolusi Prancis.
Pada
tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium
Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan
memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan (Idris, 1991:74). Menurut
Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen
sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,”Berikanlah kepada Kaisar apa yang
menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan.”
(Matius, 22:21).
Namun
kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin mengeluarkan
dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun
392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama
negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun
476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval
Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi
institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory
I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia
dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya
aspek politik, sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).
Abad
Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh
kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan
merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan
adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja
(1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (1546), Zwingly (1531), dan
John Calvin (1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir
Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (1528) dan Michael Montaigne
(1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari
kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Selanjutnya
pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan
agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (1755),
Voltaire (1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini
adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan
Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. Dimana hal tersebut berawal dari
kaum Borjuis, Prancis pada abad ke-18 sebagai reaksi protes terhadap
kepincangan yang telah berakar lama di Prancis. Sebagai akibat warisan sejarah
masa lampau, di Prancis terdapat pemisahan dan perbedaan yang tajam sekali
antara golongan I dan II yang memiliki berbagai hak tanpa kewajiban dan
golongan III yang tanpa hak dan penuh dengan kewajiban. Golongan Borjuis mengajak
seluruh rakyat untuk menentang kekuasaan raja yang bertindak sewenang-wenang
dan kaum bangsawan dengan berbagai hak istimewanya guna mendapatkan kebebasan
berpolitik, berusaha, dan beragama. Gerakan ini diilhami oleh pendapat
Voltaire, Montesquieu, dan J.J. Rousseau. Gerakan liberalisme akhirnya
meningkat menjadi gerakan politik dengan meletusnya Revolusi Prancis.
Sumber :
Ensiklopedia Bebas
Budiardjo, Miriam.1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik.
Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Notosusanto, Nugroho. 2010. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai
Pustaka
0 komentar:
Posting Komentar